PERIODESASI SEJARAH TEOLOGI ISLAM

Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

 

 

A. Pendahuluan

 

Islam merupakan agama yang mempunyai sejarah pergulatan teologi yang panjang. Dengan rentang sejarah yang panjang itu, teologi Islam pernah menancapkan sebuah fakta untuk turut serta meramaikan pergulatan intelektual dalam pentas peradaban ilmu pengetahuan dan politik dunia. Berbagai konsep dan sudut pandang teologis muncul secara dialektis dalam atmosfir kebudayaan Islam.

Secara konsvensional Islam memang mempunyai bangunan ketuhanan yang sifatnya monoteis. Sebuah agama yang mempunyai keyakinan tentang Tuhan yang satu. Namun, dalam realitas empiriknya, Tuhan yang satu tersebut melahirkan beragam pandangan dan konsep teologis yang berbeda-beda. Artinya meskipun Tuhan sebagai obyek keyakinan umat Islam sama yakni Allah, namun ketika Allah yang satu itu direspon dan dipahami oleh banyak indifidu umat Islam sejagad, maka justru melahirkan beragam konsep ketuhanan.

Perbedaan pandangan teologis itu berangkat dari beragamnya logika forma atau paradigama, sudut pandang dan perspektif yang digunakan oleh umat Islam sendiri dalam menangkap dan menafsirkan Tuhan. Satu pihak umjat Islam ada yang menggunakan perpsketif logis, yakni usaha memahami Tuhan melalui rasio. Ada yang lebih mendasarkan pemahamannya melalui intuitif. Di sisi lain ada yang cukup puas dengan informasi teks dan seterusnya.

Selain dari itu, di samping banyaknya pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam memahami Tuhan, hal yang turut serta menyeruakkan bermacam-macamnya konsep teolog Islam adalah berkaitan dengan wajah Tuhan itu sendiri. Syaikh Akbar Ibnu ‘Arabi membagi Tuhan pada dua wajah: Dzat dan Sifat. Wajah Tuhan yang terdiri dari dzat dan sifat ini menyebabkan munculnya perbedaan pandangan di kalangan para mutakallim. Ada yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sufat dan ada juga yang tidak myakini bahwa tuhan mempunyai sifat.

Beraneka ragamnya konsep teologi tersebut, akhirnya juga membawa beraneka ragamnya pola hidup dan pola pikir umat Islam. Bagi umat Islam yang masuk pada kubu Jabariyyah akhirnya lebih cenderung fatalistik. Hal ini karena pakem teologi Jabariyyah adalah menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Sementara bagi umat Islam yang menjadi penganut Qodariyyah menjadikan umat Islam pada kelompok ini mempunyai sikap hidup yang optimis. Karena konsep teologi mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia merupakan tanggung jawab manusia. Oleh karena itu, termasuk nilai baik dan buruk adalah berasal dari manusia dan bukan dari Tuhan. Pola hidup dan pola pikir lainnya juga ditunjukkan oleh kelompok lainnya yang mempunyai konsep teologi berbeda.

Dinamika dan dialektika sejarah teologi umat Islam di atas hingga kini masih terus menemukan geliatrnya, bahkan dalam kontek Indonesia justru mengalami penguatan. Munculnya gerakan-gerakan puritanisme Islam yang mengusung tema-tema radikalisme Islam, menuntut menarik Islam ke era awal adalah representasi dari menguatnya penanaman teologi wahabi dan salafiyah. Lahirnya konsep teologi ini sebagiannya ditopang oleh lahirnya gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam yang masuk kategori neokonservatisme.

 

B. CORAK TEOLOGI ISLAM BERDASARKAN PERIODE SEJARAH

 

Lahirnya teologi dalam Islam adalah tergolong unik. Pasalnya teologi Islam bukan lahir dari persoalan agama, melainkan justru dari persoalan politik. Persoalam yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persolan teologi.

Dengan demikian, teologi Islam tersebut sangat lengket dengan persoalan politik. Ketika hendak membedah teologi, mau tidak mau juga membedah politik. Memang semenjak wafatnya Rosulullah, umat Islam menaruh penting persoalan kepemimpinan. Umat Islam Arab yang masyarakatnya terdiri dari berbagai suku, sering terjebak dalam pertentangan mengenai sosok pemimpin yang pantas menggantikan Rosulullah sebagai pemimpin masyarakat.

Ketika nabi wafat pada tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruuh semenanjung Arabia. Newgeri Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M.Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan (Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga dengan masyarakat Makkah sebagai intinya.

Selanjutnya, bagaimana bentuk teologi Islam dari masing-masing periode yang pernah muncul dalam sejarah Islam. Menurut Harun Nasution, dalam sejarah Islam, teologi Islam terbagi dalam periode atau zaman yakni zaman klasik (650-1250 M), zaman pertengahan (1250-1800 M) dan zaman modern (1800 dan setererusnya).

 

1. Periode klasik (650-1250 M).

 

Teologi yang berkembang di era klasik ini adalah teologi sunnatullah atau teologi yang berdasarkan pada hukum alam (natural law). Teologi natural pada prinsipnya keberimanan yang berdasarkan hanya pada rasio, teologi ini kajiannya murni filsafat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan filosofis. Sehingga produk teologi yang dihasilkan adalah teologi yang dibangun berdasarkan argumen-argumen logis-rasional.

Ciri-ciri teologi natural (sunnatullah) ini adalah :

-kedudukan akal yang tinggi

-kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan.

-kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan Haditas yang sedikit sekali jumlahnya.

-Percaya pada adanya sunnatullah dan kausalitas

-mengambil dari metaforis dari tek wahyu

-Dinamika dalam sikap dan berpikir.

Lahirnya teologi sunnatullah atau natural ini didukung oleh lahirnya iklim dialog antara dunia Islam dengan alam pemikiran Yunani. Ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan peradaban Yunani, maka rasionalisme mulai bergeliat dalam dunia Islam. Semangat rasionalisme yang ada dalam filsafat inilah yang dijadikan oleh para pemikir Islam untuk membangun teologi.

Di anatara para filsof Yunani, Aristoteles adalah yang paling menarik bagi orang-orang Islam. Dari dia para pemikir muslim mengambil terutama metode berpikir sistematis dan rasional, yaitu al-Manthiq (logika formal), di samping biologi, ilmu bumi matematis dan lain-lain. Mereka memandangnya sebagai “al-mu’allim al-awwal” (guru pertama). Aristotalianisme dengan demikian menjadi bagian integral dari khazanah pemikiran Islam. Tetapi sesungguhnya, pemahaman kaum muslimin terhadap pikiran guru pertama itu, secara keseluruhannya, adalah terjadi melalui teropong neoplatonisme, karena sebagian besar lewat karya-karya para penafsir, khususnya karya-karya plotinus dan Prophiry. Salah satu karya kefilsafatan yang amat bgesar pengaruhnya kepada dunia pemikiran filsafat Islam adalah “Theologia Aristotelis”.

Dengan logikia formal yang demikian itu, maka bangunan teologi Islam di masda klasik poenuh vitalitas rasionalisme. Sehingga pembuktian Tuhan mempunyai dasar ragumennya yang rasionalistik. Bukan hanya itu, persolaan tentrang proses penciptaan alam semesta yang termasuk bagian dari teologi juga mempunyai dasar rasionalismenya. Seperti para filsof paripatetik yang mempunyai konsep penciptaan alam melalui penjelasan akal pertama, akal kedua, akal ketiga dan seterusnya.

Periode klasik ini secara umum terbagi menjadi dua. Pertama adalah periode klasik (650-1000) yaitu periode zaman di mana daerah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai mke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dan maju pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufusme dan termasuk teologi. Dari periode ini ulama –ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai.

Kedua adalah faee disintegerasi (1000-1250 M). Di masa ini persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik poloitik seringkali melanda sehingga klimkanya adalah hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdade berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.

Karena semangat pemikirannya yang cenderung antoposentris itulah, maka teologi di abad klasik ini termasuk teologi Qadariyyah. Paham ini terkenal dengan nama free wil,.dan free act. Artinya manusia mempunyai kebebasan atau kemerdekaan dalam menentukan hidupnya. Seluruh prestasi yang dihasilkan oleh manusia bukanlah dari Tuhan melainkan dari manusianya sendiri karena manusia diyakini mempunyai kekuatan dan kapabelitas untuk menghasilkan prestasi tersebut.

Teologi sunnatullah atau Qadariyyah ini bukan sekedar beroreintasi pada kehidupan kahirat, melainkan juga mempunyai target dunia. Oleh karena itu, di era Qadariyah ini, di samping basis keimanan umat Islam karena ditopang oleh rasionalisme, bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik dan sejenisnya mengalami kemajuan pesat. Mesir, Suriah dan Persia, ketika itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, sutra dan lain-lain di Timur Tengah. Hasil-hasil yang berasal dari Timur di bawa ke Barat harus melalui daerah-daerah tersebut. Kairo, Alexandria, Damsyik, Baghdad dan Siraz (Persia) menjadi kota-kota dagang yang penting.

Sementara itu di bidang tasawuf yang berkembang adalah tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi merupakan sebuah pemikiran atau aktifitas untuk mengenal lebih dekat kepada Tuhan tetapi tetap menggunakan pemiiran filosofis. Dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, para sufi menempuh jalan panjang dan sulit meskipun akhirnya sampai uga pada tujuan mereka. Dalam mendekatkan diri, mereka dihinggapi leh rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan, sehingga mereka di stasiun al-mahabbah atau cinta ilahi. Kalau cinta mereka dibalas Tuhan mereka akan meningkat ke level yang lebih tinggi, yaitu al-ma’rifat.

Bukan hanya itu, pada zaman klasik ini sains juga mengalami kemajuan pesat meskipun tidak sepesat era sekarang. Ilmu kedokteran banyak dikembangkan oleh para ahli seperti Ibnu Rusd, AlRazi dan Ibnu Shina. Ilmu kimia mengalami kemajuan di tangan jabir dan Ala-razi. Sumbangan ulama Islam bagi ilmu kimia lebih banyak dari yang diberikan oleh orang-orang Yunani. Matematika dikembangkan oleh al-Khawarizmi, Umar Al-Khayam. Angka kosnong (nol) adalah penhemuan ulama Islam yang ikemudian bersama angka Arab lainnya dibawa ke Eropa pada permulaan abad ke dua belas M. Astronomi berkembang di tangan Al-Fazzari , AlFarghani dan lain-lain.

 

 

 

2. Periode Pertengahan ((1250-1800 M)

 

Pada periode ini telah terjadi pembalikan sejarah antara Islam dan Barat. Islam yang di era klasik bisa mencapai kejayaan ilmu pengetahuan dan teologi berkat dialognya dengan dunia Barat, maka di era pertengahan ini Islam justru mengalami era kegelapan (the darkness age). Setelah Timur berhasil dihancur leburkan oleh kengiskhan dan hulaghu khan, maka hampir semua literatur –literatur Islam di bawa oleh para pem\njajah tersebut ke Barat sementara sebagian yang lain telah mereka bakar.

Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini bubut-bibit perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geofrafis dunia Islam hancur berkeping-keping mnejadi pecahan-[ecahan kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Ke dua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.

Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khsususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sumgguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosost tajam alais masih sangat rendah.

Karena perhatian dan apresiasi ter5hadap ilmu pengetahuan atau filsafat rendah, maka teologi yang berkembang pada periode pertengahan ini adalah teologi Jabariyyah. Ciri-ciri teologi ini adalah:

– Kedudukan akal rendah

– Ketidakbebasan dalam kemauan dan perbuatan

– Kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma

– Ketidakpercayaan kepada sunnatullah dan kausalitas

– Terikat pada arti literal al-Qur’an dan Hadits

– Statis dalam sikap dan berpikir

Kedudukan akal yang rendah menjadikan umat Islam tidak lagi merumuskan teologi baru yang benar-benar bernas dan bergairah hingga menjadiukan umat bertindak dan berpiokir progresif. Pada periode ini yang berkembang bukan lagi berfastabiqul khairot untuk berijtihad , tetapi justru sebaliknya mayoritas umat Islam berduyun-duyun berteduh di bawah pohon taqlid. Sikap umat Islam yang semacam, ini menyebabkan semangat dan aktifitas intelektual di dunia muslim menjadi mandek total.

Selanjutnya, karena tidak adanya pemikiran logis yang mempau meerenungkan alam semesta, sebagaimana yang dipraktikkan oleh para pemikir dan filsof muslim, maka kreatifitas berpikir untuk mewrumuskan teologi-teologi baru tidak nampak. Umat Islam hanya percaya bahwa seluruh jagad raya ini adalah dikendalikan oleh yang maha satu yaitu Allah SWT.

Kondisi yang dekaden ini justru diperparah dengan distrosi terhadap nilai-nilai Tasawuf. Tasawuf yang di era klasik menjadi pemicu kemajuan, kini di era pertengahan di jadikan sebagai tarikat. Praktik sufisme yang sudah mengental menjadi praktik tarikat ini akhirnya menjadikan seluruh aspek tasawuf tergerus menjadi tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang akarb dengan aktifitas dan semangat perenungna, berpikir, berfilsafat dan refleksi menjadi tidak berlaku.

Dalam teologi Jabariyyah tang statis dan fatalistik ini, berlaku sebuah keyakinan bahwa manusia tidak mmempunyai kehendak, tidak mempunyai kekuasaan dan tidak mempunyai pilihan; manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.

Dengan pandangan semacam ini, maka manusia tidak lebih dari sebuah wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Seluruh perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan oleh Allah kepada manusia itu sendiri. Perbuatan ini tidak muncul dari kemauannya sendiri. Termasuk masalah keburukan adalah bukan kehndak manusia, melainkan dari kehendak Tuhan. Jadi, bagi teologi abad pertengahan ini, manusia yang mencuri atau korupsi itu pada dasarenya bukan kehendaknya sendiri, melainkan kehendak Tuhan yang dipkasakan kepada manusia itu.

Namun karena seperti yang telah disinggung di atas, bahwa karena teologi Islam adalah lahir dari masalah politik, maka di dalam paham ini sebebnarnya kuat sekali tendensi politiknya. Hal ini nampak sekali pada penguasa daulah Umayyag di Damaskus. Seolah-olah karena didorong oleh keperluan membela sahabat utsman Bin Affan, tetapi yang pasti itu hanyalah sekedar topeng belaka, kepentingan utamamnya adalah untuk kepentingan politiknya sendiri. Bila diperingatkan bahwa tindakan-tindakan mereka yang menindas rakyat dan mengekang perkembangan pemikiran di kalangan ummat itu menyalahi semangat Islam dan bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan kedhaliman itu di hadapan ummat, selain di hadapan Tuhan kelak di akhirat, rezim Umayyah itu menolak dengan mengatakan bahwa kami tidak bisa diminta tanggungjawab atas tindakan-tindakan kami. Sebab Tuhanlah yang menghendaki semuanya itu. Hanya padaNyalah kekuasaan untuk menentukan kebaikan atau keburukan.

Dengan teologi yang demikian itu, maka produktifitas para ulama di masa ini menurun drastis. Hasiul-hail karya yang sejak era klaisk bisa berkembang pesat dengan berbagi fan keilmuan, di era pertengahan ini mengalami mati suri. Begitu juga di bidang lain seperti ekonomi dan, industri dan pertanian juga menurun drastis. Hanya di bidang politik yang agak menonjol karena pada zaman poertengahan ini masih dijumpai tiga imperium besa yaitu Turki Utsmani, Safawi dan Mughal.

 

3. Abad Modern (1800 dan seterusnya)

 

Istilah modern, secara umum, berasal dari kata moderna yang artinya sekarang (Jerman:Jetzeit). Dengan pengertian itu kita tahu bahwa yang disebut modern, manakala semangat kekinian menjadi kesadaran seseorang. Jadi kalau ada orang atau masyarakat hidup di era sekarang tapi kesadarannya berada di abad tengah maka pertanda mereka bukan modern, tetapi manusia primitif. Abad modern ini merupakan spirit zaman baru (zeitgeist) yang berada di abad 19. sebagai bentuk peradaban dan semangat zaman, modernitas dicirikan oleh tigal hal yaitu indifidualistik, rasionalisme dan kemajuan.

Ketika memasuki abad ke 19 umat Islam mengalami keterkejutan yang luar biasa. Sebab, pada era ini Eropa atau Barat, yang di era klasik masih berada dalam kegelapan dan kemunduran, kini justru berbalik menjadi pusat beradaban dunia. Era kemajuan di Barat inilah yang populer disebut sebagai abad modern. Abad modern adalah masa peralihan dari kebudayaan teosentris ke antroposentris, peralihan dari peradaban langit ke peradaban bumi, dari metafiskikan ke fisika, dari immateri ke materi. Peradaban ini pada hakekatnya adalah hasil renaissance dan pencerahan (enleighment) yang terjadi di eropa. Era renaissance adalah era lahirnya kebebasan dan terlepasnya kehidupan dari norma-norma agama. Era renaissance ini ditandai oleh munculnya pengetahuan baru yang didapatkan melalui intensitas observasi dan pengamatan alam semsta. Pada taraf ini dunia atau alam semesta menjadi daya tarik utama untuk menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari sini berkembanglah ilmu astronomi dan geography. Meskipun sebelumnya, di dunia Islam ilmu-ilmu semacam ini sudah pernah ditemukan oleh para pemikir muslim.

Indikasi selanjutnya adalah bahwa modernitas ini ditandai juga oleh penelitian dan pengkajian terhadap tek-tek klasik yang berasal dari Yunani kuno, Islam dan Cina. Yang menarik di sini adalah, ternyata Islam juga merupakan faktor penentu lahirnya modernistas di Barat. Memang periode klasik Islam telah melahirkan peradaban Islam, yang berpengaruh terhadap peradaban Barat. Pengaruh ini diakui oleh pengarang-pengarang Barat seperti Gustave Le Bon, Jacques Risler, Rom Landau dan Alfred Guillaume.

Semangat zaman yang antroposentris ini akhirnya melahirkan berbagai sikap hidup di antaranya adalah sikap kritis. Sikap kritis ditujukan terhadap dogma-dogma agama yang sudah sekian tahun membatu. Sikap yang lain adalah humanisme. Sikap ini ditunjukkan dengan maraknya berbagai hasil karya seni seperti musik, lukis, patung atau drama yang lebih mengangkat manusia dasripada eksistensi Tuhan. Seperti lukisan Leonardo Davinci tentang Monalisa. Lukisan ini merupakan pertanda terjadinya peralihan peradaban dari yang sebelumnya berbasis pada nilai teosentrisme menuju ke wilayah humanisme.

Sebelum pintu modernitas benar-benar terbuka, di Barat telah muncul beberapa pemikir atau filsof yang mulai melncarkan serangan-serangannya terhadap peradaban abad pertengahan. Abad pertengahan adalah abad yang lebih mengunggulkan Tuhan, lebih membela wahyu daripada akal. Era ini ditandai oleh kuatnya otoritas gereja atas segala peradaban dan kebudayaan. Oleh karena itu tokoh-tokoh pemikir di ambang modernitas berusaha untuk mendobrak tatanan atau sistem rezim gereja yang memnindas itu. Dalam hal ini Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang mempelopri untuk menyerang sistem politik gereja yang absolut, kemudian Giordano Bruno (1548-1600) yang dengan gencar mengkritik pakem-pakem agama (gereja) dan Francis Bacon (1561-1626) yang mulai intens menegakkan semangat ilmu pengetahuan dengan semboyannya knowledge is power.

Dengan gugatan dan serangan-serangan kritis dari para filsif itulah, fajar modernitas akhirnya muncul. Lahirnya modernitas ini secara epistemologis ditandai oleh bamngkitnya kembali rasionalitas yang sebelumnya, yakni di era pertengahan, telah dipasung dengan ketat. Maka modernitas ini secara eksplisit merupakan era kemerdekaan bagi rasio. Kemerdekaan rasion ini secara simbolik dideklarasikan oleh Descartes (1596-1650) dengan statemennya cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada).

Melihat fajar pencerahan dan kebangkitan peradaban di Barat yang berkembang pesat itu, hal itu seolah menyentak umat Islam dari tidur panjangnya yang dia lakukan sejak era pertengahan. Ketika modernitas ini muncul Barat, maka umat barus melek bahwa umat Islam telah mengalami dekadensi dan kemunduran yang luar biasa. Akibat kemundurannya itu, umat Islam akhirnya menjadi obyek penjajahan Barat. Salah satu bukti konkritnya adalah hancurnya tiga kerajaan besar– yang di era pertengahan masih eksis— oleh ekspansi dan imperialisme bangsa Barat. Turki Utsmani yang pernah berjaya di abad pertengahan mengalami kekalahan dalam perangnya di Eropa, kerajaan Safawi di Mesir, dalam waktu tiga minggu berhasil ditaklukkan oleh Napoleon Bonaparte dan kerajaan Mughal di India telah dihancurkan oleh Inggris.

Melihat dahsyatnya imbas peradaban modern terhadap dunia Islam tersebut, para pemikir muslim akhirnya terlecut untuk berpikir keras merumuskan teologi yang bisa membangkitkan kembali girrah umat Islam untuk mencapai kejayaannya yang telah sirna. Muncullah kemudian para mujadid baru dalam dunia Islam dengan menawarkan berbagai ide yang bertujuan memajukan dunia Islam dan mengejar ketertinggalannya dari Barat. Atas semangat ini dunia Islampun mulai ikut memasuki rimba raya modernitas.

Namun, usaha-usaha pembaharuan atau modernisasi dalam dunia Islam, sebenarnya sebelumnya telah dimulai dari sebuah zaman yang disebut modern ini. Usaha-usaha itu terutama dijalankan oleh kerajaan Utsmani. Dalam peperanganya dengan negara-negara Eropa, kerajaan Turki Utsmani pada awal abad ke 17, mengalami mkekalahan dari Peter Agung dari Rusia. Dengan modernisasi yang dilakukan oleh Rusia, Rusia menjadi lebih kuat dari Turki Utsmani. Hal ini akhirnya, membuat sultan-sultan Utsmani juga ingin mengadakan modernisasi di Turki, terutama di lapangan militer. Usaha-usaha yang modernisasi yang dijalankan oleh sultan Utsmani pada waktu itu lebih terpusat pada usdaha untuk memperkuat kekuatan militer.

Di antara tokoh-tokoh mujadid atau pemikir-pemikir baru Islam yang sangat getol mengusung isu-isu modern adalah Muhammad Abduh, Rasyid Ridlo, Jamaluddin Al-Afghani, Zia Gokalp, Seyyid Ahmad Khan dan seterusnya. Para pemikir dan filsof ini adalah tokoh-tokoh pembaharu yang mencoba menyerukan untuk kembali kepada teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah zaman klasik di kalangan ulama dan umat Islam zaman modern.

Untuk merealisasikan semangat teologi tersebut, maka pada abad ke 19 mulai didirikan sekolah-sekolah moderrn gaya Barat di Mesir, Turki dan India. Di sekolah-sekolah ini semnagat ilmiah mulai dihidupkan kembali. Pola berpikir yang rasional, filosofis dan ilmiah mulai dibudayakan. Namun meskipun demikian, program dan tawaran para mujadid untuk kembali ke teologi sunnatullah yang mengedepankan rasionalitas itu dalam realitas empiriknya tidak mendapat apresiasi oleh seluruh umat Islam di dunia. Masih banyak masyarakat muslim yang justru menentang modernitas. Mereka justru berusaha untuk tertutup dan tak bersedia menyerap nilai-nilai modernitas. Namun usaha para mujadid awal seperti Muhammad Abduh dan kawan-kawan untuk kembali ke teologi Sunnatullah tetap ada hasilnya. Dengan digaungkannya teologi sunnatullah untuk mengimbangi peradaban modern Barat itu, produktifitas dan kreatifitas umat Islam mulai meningkat kembali meskipun itu masih jauh dari Barat.

Di samping semangat rasionalitas yang ada dalam teologi sunnatullah, unsur lain yang turut dikampanyekan oleh para pemikir atau mujadid masa-masa awal adalah perlunya untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Sebagian para mujadid berasumsi bahwa di samping faktor politik yang sudah rapuh, salah satu sebab mundurnya umat Islam adalah dipicu oleh kuatnya takahyyul, bid’ah dan khurofat yang berekmbang di dunia umat Islam. Umat Islam, selama ini terjerembab ke dalam jurang mistik yang dalam sehingga tidak bisa berpikir secara jernih dan rasional.

Oleh karena itu dengan kembali ke al-Qur’an dan Hadits itu dimakusdkan agar umat Islam bisa kembali berpikir jernih dan tidak terperangkap oleh takahyyul dan mitos-mitos agama. Di samping itu, dalam memahami al-Qur’an diharapkan umat Islam lebih rasional.

Dari sini bisa diketahui bahwa gerakan pembaharuan umat Islam untuk kembali kepada teologi sunnatullah adalah mirip dengan gerakan modernisme di Barat yang mana otoritas gereja yang lebih mengedepankan mistik dan dogma-dogma agama. Namun karena pola berpikir mistik dan penuh takhayyul tersebut yang sudah sedemikian rupa mendarah daging di kalangan umat Islam agaknya sulit untuk ditanggulangi. Entah karena ketakutannya atau karena sudah terlalui enak dengan pola berpikirnya itu, maka banyak umat Islam yang ragu-ragu atau kurang percaya diri dengan teologi sunnatullah. Mereka yang fatalistik ini masih menganggap bahwa segala –galanya telah ditentukan secara mutlak oleh Tuhan.

 

Kritik Terhadap Modernitas

 

Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban dunia di abad 19 dan seterusnya telah menawarkan berbagai janji-janji kebahagiaan. Namun dalam praktiknya modernitas justru menimbulkan banyak persoalan baru. Peradaban modern justru banyak melakukan dehumanisasi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan cita-cita kemajuan, peradaban modern banyak melakukan kerusakan dan bencana yang menyengsarakan orang banyak. Manusia hanya dipandang sebagai entitas fisik yang tak berdimensi spiritual. Karena pola pandang terhadap manusia semacam ini, maka peradaban modern justru menjadikan manusia sebagai mahluk yang teralienasi, dilanda klebingunagan dan kemapanan makna.

Akibat modernisme yang lepas dari dimensi spiritual, maka, maka seperti yang dikatakan oleh Doni Gahral Adian, manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia kehilangan kontrol atas hidupnya di mana ia terdeterminasi oleh hukum-hukum birokrasi, mekanisme pasar, hukum besi sejarah dan lain sebagainya. Manusia seperti dikatakan Iqbal hidup dalam kondisi menyedihkan karena hidup dalam dunia yang dibuat oleh orang lain. Kematian metafisika kemudian memperkokoh suatu pandangan dunia materialisme-mekanis yang pada prinsipnya a) mendesakralisasi realitas. Memandang alam sebagai alam profan yang dikendalikan bukan oleh kuasa gaib melainkan hukum alam naturalisme. b)memandang manusia sebagai subyek yang meneliti alam (subyektifisme Cartesian), c) memandang Tuhan sekedar pencipta alam beserta hukum-hukumnya yang lalu cuci tangan.

 

Ironisme Gerakan wahabi

 

Dalam teologi Islam kritik modernisme ini lebih tertuju pada gerakan wahabi internasional, khsususnya di Indonesia. Gerakan wahabiyah adalah bagian dari imbas gerakan modernisme di dunia Islam. Gerakan yang sekarang sedang marak ini secara langsung maupun tidak merupakan hasil gerakan pembaharuan tokoh wahabiyah yaitu Muhammad bin Abdul wahab. Memang Muhammad bin abdul wahab adalah salah satu tokoh yang mempunyai jasa besar terkait dengan pembaruan Islam, khsusunya dalam bidang teologi. Pembaharuan di bidang pemikiran yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini muncul karena keinginan untuk membersihkan Islam dari tradisi-tradisi yang datang dari luar Islam seperti paham animisme dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh tarekat.

Bagaimanapun juga apa yang telah diusahakan oleh para mujadid dan para tokoh Islam untuk kembali menerapkan teologi sunnatullah adalah sebuah terobosan baru di tengah keterpurukan umat Islam di berbagai bidang. Namun yang menjadi masalah adalah ketika usaha renaissance Islam itu diselewengkan menjadi gerakan indokrtrinasi oleh paham atau aliran tertentu.

Terus terang saja, gerakan pembaharuan yang salah satu ajarannya adalah kembali kepada al-Qur’an dan Hadits, yang diusung oleh kelompok Wahaby tersebut, kini justru dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran-ajaran keislamanya terhadap kelompok lain. Gerakan Wahaby tersebut, jelas gerakan yang berbahaya. Karena di samping gerakannya yang berorientasi kepada globalisme Islam, ia juga menjadikan budaya Arab sebagai representasi dari ajaran Islam yang sah. Sehingga kelompok Islam lain yang telah berislam dengan gaya dan budayanya sendiri dianggap sebagai orang kafir yang harus diislamkan kembali. Sebagai gerakan transnasional, gerakan Wahaby sama sekali tidak toleran terhadap budaya-budaya lokal (local wisdom).

Memang pada awalnya Muhammad bin Abdul wahab menyerukan bahwa untuk memurnikan ajaran Islam oranmg harus kembali kepada kedua sumber Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits, seperti yantg dilakukan oleh masyarakat muslim awal.namun konsep kembali kepada alqur’an dan hadits yang dikehendaki oleh Muhammad bin Asbdul wahab itu ternyata bertentangan dengan kjonsep yang dilakukan oleh para penganutnhya sekarang. Karena kembali kepada kedua sumbet islam itu, bagi Muhammad bin Abdul Wahab, berarti memakai ijtihad, maka pintu ijtihad yang dinyatakan tertutup pada abad ke dua belas perlu dibuka kembali.

Karena yang dikehendaki adalah nterbukanya pintu ijtihad, maka dalam menafsir ulang aajaran-ajaran al-Qur’an, secara otomatis tetap menerima pemikiran-pemikiran baru, tradisi-tradisi baru yang tidak harus berkiblat terhadap poemikiran ndan budaya kelompok muslim Arab-klasik. Dengan pintu ijtihad itu, tentu sangbat dimungkinkan adanya pemaknaan Islam sesuai dengan kultur budaya setempat. Kalau dalam kontek Indonesia ada istilah pribumisasi Islam, sebuah pola penafsiran yang digaungkan oleh Gus Dur. Artinya sebagai muslim Indonesia seseoang berhak berislam dengan budaya sendiri yang sesuai dengan kontek kekinian, bukannya harus meniru mentah-mentah budayanya masyarakat Arab. Meniru budaya Arab memang bukan sebuah hal yang haram, tetapi kalau budaya ini sudah dipatenkan sebagai nilai ideal dari nilai Islam ini merupakan masalah.

Dan itulah yang tidak disadari dan tidak dipahami oleh oknim-oknim wahaby. Dalam upayanya untuk menguoiversalissikan bentuk dan ajarannya, gerakan wahaby ini usdah masuk dalam kerangka logosentrisme. Di mana ajaran-ajaran Wahaby, yang sebenarnya bagian saja dari bentuk dan penfasiran Islam, diusahakan oleh para jamaahnya untuk ditotalitaskan, dimutlakkan dan diniscayakan untuk seluruh umat Islam di seluruh dunia. dengan demikian, gerakan semacam ini yang cenderung anti budaya lokal itu kustru membuat mundur dunia islam

Kenapa? Karena Islam yang sejatinya kaya dengan pemikiran, budaya dan corak kehidupan sekarang terancam masuk ke dalam satu lubang kebenaran saja. Selain pandaganyaan yang monolitik itu, gerakan wahaby ini cenderung menjadikan Islam sebagai formalitas. Salah satu indikasinya adalah ambisinya gerakan wahaby untuk selalu menegakkan negara Islam tanpa memandang dahulu aspek –aspek geopolitik yang ada. Dengan demikian, Islam yang sejatinya sangat dalam dan luas oleh orang Wahaby cenderung direduksi dan didistorsikan hanya menjadi idiologi politik yang dangkal. Menjadikan Islam semacam ini justru berpotensi mengebiri universalitas Islam itu sendiri.

Kelompok-kelompok Islam kanan seperti FPI, MMI, HTI dan sejensinya adalah organisasi –organisasi sosial yang yang lebih pro dengan idiologi wahabisme. Mereka cenderung tidak mau terbuka dan toleran dengan kelompok Islam lain. Contoh konkritnya, dalam kontek Indonesia adalah sikap arogannya dan anarkhisnya terhadap kelompok Ahmadiyyah. Seolah-olah merekalah yang benar. Padahal dengan sikapnya yang anti dialog dan toleran dengan kelompok lain yang berbeda itu justru bertentangan dengan nilai Islam.

Teologi menurut Anselm adalah keimanan yang mencari tahu (feith seeking understanding). Dengan demikian sebuah teologi harus selalu digugat, diuji dan dipertanyakan melalui perdebatan intelektual, dialog, diskusi dan sejenisnya. Hal ini supaya konsep teologi itu selali up to date dengan perkembangan zaman. Bukannya malah secara buta membakukan konsep teologi tertentu seperti yang dilakukan oleh gerakan wahabi kontemporer.

 

 

DAFTAR PUSTAKA:

 

-Nasution, Harun.Dr. Prof, Islam Rasional, Mizan , Bnadung, 1995

_____________________, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, 1990

____________________, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 2007

-Madjid, Nurcholis (Ed), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta, 1985

-Kertanegara, Mulyadhi, Panorama Filsafat Islam, Bandung 2005

-Hardiman, Budi. F, Filsafat Modern, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004

-Gahral Adian, Doni, Muhammad Iqbal, Jakarta, 2003

 

 

 

 

2 Responses to “PERIODESASI SEJARAH TEOLOGI ISLAM”

  1. bisa dijelaskan tentang teologi islam dalam konteks keindonesian???????????

Leave a comment