PUASA DAN SPIRIT PEMBRANTASAN KORUPSI

Oleh:Muhammad Muhibbuddin*

 

Bulan suci Ramadhan kini kembali hadir. Ini merupakan momen penting yang harus kita manfaatkan secara optimal untuk memperbaiki pola kehidupan kita baik sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat atau bangsa. Kenapa demikian? Karena seperti yang diketahui inti puasa pada prinsipnya bukanlah berlapar-lapar atau berhaus-haus. Puasa pada hakikatnya bukanlah berhenti makan, minum dan melakukan seks dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Tetapi lebih dari itu, puasa pada dasarnya adalah pengendalian diri, pengekangan hawa nafsu dan strategi menguasai ego.Jadi substansi puasa bukanlah persoalan fisik, melainkan persoalan mental dan hati.

Selama ini penyakit kronis yang menimpa kita sebagai indifidu maupun komunitas masyarakat, bangsa dan negara adalah ketidakmampuan kita untuk mengendalikan diri, ketidakpecusan kita menguasai ego dan hawa nafsu. Akibatnya kita tak henti-hentinya menjadi bangsa binatang. Salah satu perbuatan yang mencerminkan sifat kebinatangan itu adalah korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di negara kita sekarang, secara kultural maupun struktural, mulai dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja. Ia tidak lagi dikerjakan oleh indifidu, melainkan sudah dilakukan secara berjamaah, bukan lagi tersentral di pusat melainkan sudah mewabah di daerah-daerah, bukan hanya terjadi di sektor tertentu, melainkan sudah transektoral. Bukannya berkurang melainkan bertambah semarak. Maraknya korupsi yang menggurita dan terdiaspora di mana-mana itu adalah bukti kalau kita adalah bangsa binatang. Bangsa yang tak mampu menguasai diri sehingga mudah menerabas, mengahalalkan apa saja tanpa terikat lagi dengan norma, etika dan hukum.

Momen Pertobatan

 

Oleh karena itu, Ramadhan kali ini harus kita maknai sebagai momentum pertobatan. Ia bukan sekedar momen demonstrasi ritual religiusitas yang bersifat simbolik dan artifisial belaka, tetapi juga momen perubahan dan perbaikan diri, khususnya perbaikan mental dan spiritual. Kelemahan kita setiap kali menyikapi Ramadhan adalah terlalu sibuk dengan urusan-urusan ritualitas yang dangkal dan permukaan.Semarak Ramadhan hanya kita tunjukkan dalam bentuk puasa, sholat terawih, ta’jilan, tadarus al-Qur’an dan seterusnya yang kerap kali tanpa kita hayati dan kita jiwai sebagai media untuk melakukan revolusi mental-spiritual.

Pelaksanaan ibada-ibadah mahdloh seperti puasa, terawih dan sejenisnya itu tanpa kita sertai niat untuk merubah mental, paradigma dan prilaku kita. Puasa- hanya sekedar puasa, terawih hanya sekedar terawih, baca al-Qur’an hanya sekedar baca al-Qur’an yang semua itu tanpa ada maksud sedikitpun dari diri kita sendiri untuk berubah dan memperbaiki diri melalui ibadah-ibadah tersebut. Sehingga sederetan ritual yang kita lakukan itu menjadi muspro, hampa tanpa makna. Pada umumnya, motivasi untuk melakukan serangkaian ritual puasa tersebut adalah pahala dan surga. Padahal ibadah yang hanya terdorong untuk mendapatkan pahala itu sebenarnya justru mencerminkan jiwa yang kekanak-kanakan.

Maka, sebagai momentum pertobatan, Ramadhan kali ini harus mampu berfungsi sebagai momen perubahan, media transformasi diri, sarana untuk memperbaiki mental, prilaku dan pola hidup kita dari yang tidak baik ke arah yang lebih baik(minadzulumaat ilannuur).Mental dan prilaku kita yang selama ini korup, culas dan suka menelikung harus kita ubah menjadi mental dan prilaku yang bersih, jujur dan penuh amanah Perubahan mental dan prilaku ini sekaligus akan menjadi tolok ukur dan ujian terhadap ketulusan dan keontentikan atas doa dan tobat kita di bulan Ramadhan ini. Karena seperti kata Ignas Kleden bahwa otentitas doa dan tobat diuji dalam prilaku yang dihasilkan. Kalau prilaku seseorang berubah dan disesuaikan dengan tobat dan doa yang dilakukan maka doa dan tobat itu otentik. Sebaliknya jika tidak ada perubahan dalam berprilaku setelah seseorang merasa melakukan tobat dan berdo’a maka di sana justru terjadi distorsi tobat dan do’a.

 

Perang terhadap krorupsi

 

Dalam kontek sekarang, semangat perubahan diri dan perbaikan mental-spiritual dari makna puasa Ramadhan ini kita jadikan sebagai spirit untuk membrantas korupsi. Jadi, Ramadhan kali ini, dalam kerangka perubahan, harus kita jadikan sebagai momentum untuk menabuh genderang perang terhadap korupsi.Perang terhadap korupsi ini kita wujudkan dalam bentuk usaha kita untuk bisa mengendalikan diri. Kalau kemarin kita suka menghalalkan segala macam cara, maka sekarang harus kita harus berubah menjadi diri yang patuh terhadap norma dan etika. Kalau kemarin kita masih suka menilap dan menggarong uang rakyat, maka sekarang saatnya mengembalikan uang itu dan tidak mengulanginya lagi.

Perang terhadap korupsi sebagai manifestasi dari makna Ramadhan ini semakin urgen, karena sekarang kita dihadapkan pada momen-momen penting yang mengandung sejuta peluang untuk berprilaku korup. Momen itu misalnya pelaksanaan pesta demokrasi 2009 yang sekarang semakin dekat. Pada detik-detik ini jelas, peluang untuk menyuap, permainan money politic dan sejenisnya akan terbuka lebar. Selain dari itu, momen lainnya yang sangat rawan dengan korupsi adalah adanya peningkatan anggaran dana dari pusat ke daerah. Seperti kata presiden Yudhoyono (Kompas, 23/8/2008) bahwa transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-perubahan 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada tahun anggaran 2009 transfer ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Menghadapi realitas ini kalau dari sekarang kita tak mau merubah mental kita yang korup ini maka dana itu akan terancam raib.

Sudah bukan saatnya kita berpuasa, sholat tarawih dan sejenisnya hanya terdorong oleh motiv untuk mencari pahala, mencari surga dan sejenisnya sehingga malah melupakan tanggung jawab sosial dari makna puasa. Puasa adalah bagian dari syariat. Sementara syariat, seperti kata intelektual muslim asal Sudan, Abdullahi Ahmed An-Na’im (2003) adalah keseluruhan ketaatan kita kepada Tuhan (the totality obligation to God). Ini artinya aktualissi puasa harus kita maknai dan kita orientasikan untuk menggapai ketaatan yang total terhadap Tuhan tersebut. Manifestasi makna puasa sebagai spirit pembrantasan korupsi adalah upaya kita untuk membawa ritual puasa ke arah totalitas itu. Maka sungguh lucu kalau di bulan Ramadhan kita puasa, sholat dan menjalankan serangkaian ritual, namun korupsi kita biarkan marak dan menyeruak.

Oleh karena itu, mulai sekarang puasa dan sejumlah ritual Ramadhan harus kita semangati dan kita niati untuk memperbaiki diri dan kondisi masyarakat, bangsa dan negara kita. Salah satunya, yang sekarang mendesak adalah kita niati untuk membrantas korupsi. Tolok ukur otentisitas puasa dan sejumlah ibadah Ramadhan kita lainnya, salah satunya adalah turunnya angka korupsi. Kalau sehabis puasa angka korupsi semakin menurun, maka pertanda puasa dan ibadah Ramadhan kita tulus dan berhasil. Tapi kalau sebaliknya maka pertanda puasa kita dalam kesia-siaan.

*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordinator studi filsafat “Sophos alaikum” Fak.Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Leave a comment