SAATNYA MENGAWASI KEUANGAN DAERAH

Oleh:Muhammad Muhibbuddin*

 

Pada saat memberikan keterangan di hadapan sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Jum’at (22/8) presiden Yudhoyono mengungkapkan bahwa transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat. Yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004, pada APBN-perubahan 2008 melonjak menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada 2009, transfer dari pusat ke daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun.

Pidato presiden tersebut hendaknya tidak kita respon sebagai pengumuman atau keterangan biasa, tetapi juga sebagai “provokasi” demi membangkitkan greget kita untuk aktif mengontrol jalannya pengelolaan dana tersebut. Ini terutama bagi kita yang ada di daerah-daerah. Sebab, meningkatnya transfer dana ke daerah ini tidak menutup kemungkinan juga membuka lebarnya peluang untuk korupsi dan penyelewengan. Penelikungan, salah urus dan penyimpangan sudah pasti akan terjadi kalau tanpa ada kontrol yang ketat dari masyarakat.

Uang adalah sumber kriminalitas yang menghipnotis kesadaran. Banyak orang yang terjebak berbuat kriminal akibat terhipnotis oleh uang. Maka benar kata Honore de Balaze bahwa di balik setiap kekayaan besar adalah kriminal. Dengan demikian berarti bahwa sesuatu yang berurusan dengan uang bisa dipastikan sangat rawan dengan kriminalitas. Korupsi, kolusi dan nepotisme adalah jenis-jenis kejahatan yang sangat terkait dengan uang. Ketika di era ORBA yang sistem pemerintahannya sangat sentralistik, yang mana seluruh kekayaan banyak yang diangkut ke pusat dan daerah diterlantarkan, maka korupsi, kolusi dan nepotisme di era ORBA sifatnya juga sentralistik.

Namun sekarang di era reformasi kondisinya mulai terbalik yang mana sistem sentralistik sekarang berubah menjadi desentralistik. Artinya pemeberdayaan daerah sekarang lebih diprioritaskan. Banyak anggaran yang sekarang mulai digerujukkan ke daerah-daerah. Namun juga harus diketahui bahwa desentralisasi politik dan ekonomi jelas diikuti oleh desentralisasi kriminalitas. Korupsi, kolusi dan nepotisme kini juga menyeruak di daerah-daerah. seluruh daerah di Indonesia dari Sabang samapi Merauke sekarang rawan dengan korupsi.

 

State, market dan civil society

 

Dalam pernyataannya, Richard Falk mengatakan bahwa di era globalisasi ini dunia dikendalikan oleh tiga kekuatan besar yaitu negara (state), pasar (market) dan civil society. Masing-masing kekuatan itu berusaha saling berkolaborasi untuk menguasai dunia. Satu hal yang membahayakan adalah manakala negara (state) berkolaborasi dengan pasar (market). Bergabungnya dua kekuatan itu jelas akan menimbulkan sistem yang timpang dan tidak adil terhadap masyarakat. Dan inilah yang sekarang terjadi.

Di era pasar bebas ini pihak yang paling dikalahkan civil society. Karena imperium free market ini dibangun oleh dua unsur kekuatan besar di atas:state dan market. Dan apabila ditelisik lebih dalam lagi maka yang paling berkuasa adalah market. Sebagai bagian dari kekuasaan global, negara sekarang berada di bawah telapak kaki pasar. Namun pihak yang paling menderita jelas civil socety. Karena sebagai kekuatan yang berada di laur struktur kekuasaan, civil socety sekarang tak berdaya melawan kekuasaan yang dibangun oleh dua kekuatan besar di atas.

Penyelewengan yang terjadi di daerah-daerah juga tak lepas dari konspirasi dua kekuatan tersebut. Seperti yang diekspos Kompas (23/8/2008) bahwa ada 18 modus penyelahgunaan anggaran daerah. Beragam penyelewengan terjadi dengan beragam bentuknya. Ada yang berupa ruislag, mark up dan seterusnya. Kejahatan-kejahatan semacam ini merupakan cermin peneyelwengan yang dilakukan hasil persekongkolan antara penjabat daerah (state) dan pengusaha (market).

 

Penguatan Cicil Socety

 

Sebagai wujud kepedulian terhadap keselamatan pengelolaan anggaran daerah, maka di kekuatan civil socety di masing-masing daerah perlu diperkuat. Kekuatan civil socety ini merupakan satu-satunya kekuatan yang masih bisa diharapkan untuk melakukan cek and balances terhadap kekuasaan (state and market). Dalam hal ini lembaga-lembaga swadaya masyarakat di berbagai daerah perlu meningkatkan aktivitas advokasinya dan daya kritisnya atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khsusnya yang terkait dengan anggaran daerah ini. Karena sudah menjadi tradisi bahwa kebijakan-kenbijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah banyak yang merupakan pesananan atau order dari para kaum pemodal.

Termasuk terbitnya beragam perda juga sangat rawan. Karena perda –perda yang muncul ini kebnayakn merupakan upaya pemerintah untuk melakukan peneyelwengan secara halus. Supaya nantinya tidak dikatakan korupsi, maka salah satu modus operandinya adalah pemerintah setempat banyak yang berlomba-lomba menciptakan bentuk perundang-undangan untuk memberikan gratifikasi, peningkatan tunjangan dan sebagainya. Kejahatan dan penelikungan yang memakai model seperti ini tentu sangat rumit dan halus karena para pemerintah akan beralibi mempunyai dasar hukumnya.

Dengan demikian, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang masuk dalam kategori penyelahgunaan kekuasaan (power abusement) baik yang sifatnya terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi pengawasan dari segenap masyarakat perlu ditingkatkan. Hal ini secara otomatis diperlukan civil society yang kuat dan sehat untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penyalahgunaan wewenang, termasuk penyelahgunaan dana anggaran.

Kekuasaan, seperti kata Lord Action adalah cenderung korup (the power tends to corrupt). Untuk mencegah terjadinya upaya korupsi atau penelikungan kekuasaan ini sangat dibutuhkan pengawasan dari sisi kultural. Lemahnya kekuatan kultural akan semakin menjadikan para pejabat pemerintah semakin gila. Termasuk dalam pengelolaan anggaran daerah ini, kalau tidak ada kekuatan kultural yang mengawasi mereka secara ketat maka bisa jadi anggaran daerah yang besar itu bisa jadi akan menguap dan tidak tepat sasaran.

Banyaknya kekuatan sosial keagamaan di daerah-daerah semacam NU, Muhammadiyyah dan organisasi-organisasi kepemudaan seperti karang taruna, IPNU/IPPNU, IRM, GP. Anshor dan sejenisnya adalah modal bagi masyarakat daerah untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan anggaran daerah. Organisasi-organisasi tersebut bisa difungsikan sebagai basis kekuatan kultural untuk mengawasi pemerintah daerah supaya benar-benar menggunakan anggaran daerah untuk kepentingan rakyat.

Organisasi-organisasi massa tersebut harus berani menegur dan melakukan kritik yang keras terhadap pemerintah apabila ditengarai ada upaya abuse terhadap keuangan daerah. Maka sebagai masyarakat daerah, mari kita intensifkan gerakan penutupan terhadap seluruh “pintu” yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah plus kaum pemodal untuk menilap atau menggelapkan keuangan daerah yang jumlahnya triliunan rupiah tersebut.

*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordinator komunitas studi filsafat “Sophos alaikum” Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

Leave a comment